Mungkin Anda pernah mendengar istilah ”Salju abadi”. Ya, ada salju di Indonesia. Tepatnya di Papua. Disebut salju abadi karena salju ini datang bukan saat musim salju saja. Tetapi ada sejak jaman dahulu. Sayangnya, salju abadi itu tak lagi abadi. Salju abadi itu terus mencair, waktu demi waktu.
Beberapa penelitian menyebut, bahwa satu-satunya hamparan salju yang ada di Indonesia itu akan punah dalam waktu dekat. Padahal, Puncak Jaya adalah bagian dari Seven Summits–gunung tertinggi di dunia–yang salah satu daya tariknya adalah gletser tropis.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada jurnal milik National Academy of Science, AS, Dugu-Dugu–demikian masyarakat Papua menyebutnya–akan hilang dari pandangan pada tiga dekade sejak era milenium dimulai.
Bahkan ada juga yang memprediksi melalui statistik bahwa salju abadi itu akan hilang dalam kurun dua tahun ke depan.
Menyedihkan kawan.
Tapi kabar baiknya adalah, ada upaya yang dilakukan pemerintah, instansi terkait, dan masyarakat, untuk mencegah hilangnya salju Papua itu lebih dini.
Lantas, upaya-upaya apa saja yang mereka lakukan? Berikut paparannya.
Penyusutan Ekstrem
Pada pertengahan 2019, Islandia memonumenkan kepunahan gletser pertama ketika Okjökull menghilang di musim panas pada 2014. Peristiwa itu dinilai sebagai peringatan bagi 400 gletser lain di kepulauan sub-artik tersebut.
Sementara ilmuwan Swiss melaporkan laju kenaikan emisi karbon dioksida (CO2) akan memusnahkan 90 persen gletser di pegunungan Alpina pada ujung abad ini (tahun 2100).
Dari ragam penelitian itu, mereka menyebut gletser memiliki mikro ekosistem yang rumit dan sensitif. Sekali mencair, laju penyusutan bakal tak terbentdung.
Hal serupa juga bakal mengancam gletser Carstenz (Puncak Jaya 4.884 mdpl) yang terhampar seluas 68,6 hektare pada ketinggian 4.600 mdpl. Hasil studi lapangan pada 2010 menyebut bahwa gletser ini memiliki ketebalan 32 meter dan terus menyusut sebanyak tujuh meter saban tahunnya.
“Gletser tropis kebanyakan lebih kecil dan reaksi mereka terhadap variasi perubahan iklim jauh lebih cepat ketimbang pada gletser yang lebih besar,” kata Glasiologis Indonesia, Donaldi Permana, anggota tim ilmuwan, dalam DW.
Dalam sebuah diskusi webinar”The Last Glacier in Papua”, Rabu (10/6/2020), Donaldi juga menyebut bahwa bisa jadi kepunahan gletser Papua akan terjadi 10 tahun mendatang, bahkan lebih cepat. Terlebih jika terjadi kondisi Elnino
Ia pesimistis agak sulit untuk menyelamatkannya, tapi untuk mencegah cepatnya penyusutan bisa dilakukan dengan beragam monitoring.
”…Apalagi ini satu-satunya gunung puncak es di Indonesia.”
Dalam kesempatan yang sama, sebuah catatan yang dipaparkan Ripto Mulyono soal penyusutan ektrem gletser tropis ini yang terus terjadi seiring waktu. Padahal ia menyebut beberapa dasawarsa lalu puncak salju itu masih terlihat jelas dari laut Arafuru.
Orang Indonesia pertama yang menginjakkan kaki di puncak Aconcagua, Argentina, ini juga mengatakan banyak es yang sudah tak nyambung antar-puncak gunung. Sebut saja sambungan dari Puncak Soekarno dan Puncak Soemantri.
Soal penelitian, sambungnya, pada tahun 1964 Presiden Soekarno pernah memerintahkan RPKAD untuk meriset yang bekerjasama dengan universitas di Jepang.
Dari paparannya, diperoleh data sebagai berikut;
Para ilmuwan juga memperkirakan gletser-gletser di Papua telah kehilangan sebanyak 85 persen luasnya sejak beberapa dekade terakhir. Studi anyar yang dilakukan National Academy of Science mencatat luas gletser yang dulu terhampar sekira 2.000 hektare, menyusut menjadi kurang dari 100 hektare.
Para peneliti juga mencatat laju penurunan es yang lebih cepat secara ekstrem, yakni lima kali lipat hanya dalam beberapa tahun terakhir.